Jangan Panggil Aku Kartini

Oleh : Zulfaisal Putera

 

            “Hei, Kamu! Sekarang giliranmu!”

            Aku? Akukah yang ia maksud?

            “Hei, Kamu dengar tidak? Kamu, yang itu tuh, yang baju merah. Sini!”

            “Ssaaya, Pak?” Aku  pastikan diriku.

            “Ya, Kamu! Siapa lagi!”

            Akhirnya tiba juga giliranku. Setelah hampir dua jam aku berada di ruangan ini, menyaksikan beberapa orang lainnya yang sudah di panggil dan ditanyai.

            Aku hempaskan pantatku di kursi kayu panjang yang tak ada sandarannya. Terasa hangat.

            Berbatas sebuah meja yang di atasnya tergeletak sebuah mesin tik tua, di hadapanku duduk dengan kokohnya seorang laki-laki berseragam, dengan wajah yang sedikit sangar.

            “Aku harap Kamu tidak berbelit-belit. Aku sudah cape. Aku sudah menanyai beberapa orang. Dan Kamu yang terakhir. Jadi, jawab dengan jelas pertanyaanku”

            Laki-laki itu mengingatkanku dengan suara yang sudah serak, tapi masih memekakkan telingaku. Sebatang rokok yang tinggal separu diisapnya dalam-dalam.

            Sejenak kemudian, tangannya mulai meraih lagi tut mesin tik.

            “Nama?”, ia mulai bertanya.

            “Nama saya, Pak?”

“Iya! Nama Kamu. Siapa?”

“Kartini, Pak!”

            “Apa? Kartini?” 

Ia seperti terkejut. Matanya menatap tajam. Pandangannya menyapu seluruh wajahku.

“Betul, Pak. Saya Kartini!”, aku mengulang menyebut namaku.

“Kar – ti – ni”

Ia mengeja namaku dan mengetiknya.

“Orang Jawa?”

“Bukan, Pak!”

“Bukan Jawa, kok namanya Kartini!”

Aku mencoba untuk memahamii mengapa ia agak terkejut mendengar namaku. Ya, namaku memang Kartini. Orang tuaku yang memberi nama itu. Walaupun bukan orang Jawa, orang tuaku tentunya punya cukup alasan memberiku dengan nama tersebut.

“Kamu tau, Kartini itu nama siapa?”, lelaki itu mulai bertanya lagi.

“Maksud Bapak?”

“Hm, orang seperti Kamu ini tidak pantas memakai nama itu!”

Aku tidak pantas memakai nama itu? Aku bersungut dalam hati. Aku tidak tahu, siapa yang berhak menyatakan sebuah nama itu pantas atau tidak pantas untuk disandang seseorang. Sedangkan orang tuaku saja yang menghadiahkan nama itu tak pernah menyatakan ketidakpantasan itu.

Aku memang pernah menanyakan pada mama dan abahku mengapa aku diberi nama itu, ketika suatu hari saat aku mulai duduk di sekolah dasar.

Ikam itu lahirnya pas tanggal 21 April, sama dengan tanggal kelahiran Kartini!”, abahku pernah menyampaikan itu suatu hari.

“Aku lawan abah handak ikam tu nang kaya ibu Kartini!”, itu yang kuingat dari jawaban mama.

Ya, seperti ibu Kartini. Mungkin mamaku menginginkan aku seperti tokoh wanita itu, entah kecantikannya, kewanitaannya, kepintarannya, atau sekadar semangat perjuangannya.

“Kamu pelacur! Harusnya jangan pakai nama itu!”

Lelaki di hadapanku ini mulai menyalakku.

“Lagi pula, gak ada orang Banjar yang jadi pelacur!”

“Memalukan!” sungutnya.

Aku tertunduk lesu. Dadaku mulai sesak. Aku tidak terkejut dengan sebutan itu. Aku memang pelacur. Dan aku sudah terbiasa sebutan seperti itu. Yang membuatku tersedak, namaku dikait-kaitkan dengan pekerjaanku, dikaitkan dengan sukuku. Aku, Kartini. Tidak bolehkan seorang pelacur sepertiku menyandang nama itu?

Tak pernah terlintas dipikiranku selama ini bahwa namaku begitu agung hingga tak pantas disandang orang sepertiku. Aku memang tak pernah merasa ada beban menyandangnya. Bahkan, aku teramat bangga saat masih sekolah dulu, ketika semua orang merayakan peringatan Hari Kartini. Aku menganggap semua orang, seakan-akan merayakan ulang tahunku juga.

Sekalipun parasku tidak sebulat sang raden ajeng itu, aku masih sempat dihias mamaku semirip Kartini. Dengan sanggul seadanya dan kebaya hitam yang kedodoran, aku diikutkan lomba busana Kartini di sekolah saat itu. Ah, kenangan yang mengasyikkan sekaligus memalukan, karena ketika akan naik ke atas panggung sederhana yang disusun dari meja-meja belajar itu, sanggulku melorot. Aku menangis sejadinya. Mamaku malah tertawa terbahak-bahak sambil menarikku dan mengamankan di belakang pentas.

“Apalagi Kamu pelacur jalanan!”, sambung lelaki berseragam itu sambil menyeruput kopi yang sudah dingin dan masih tersisa sedikit itu.

Aku mencoba menatap mata lelaki itu. Ia seperti pura-pura tidak tahu aku tatap. Matanya dibiarkannya lepas menatap laron-laron yang mengelilingi lampu di atas kepalaku.

Aku tak tahu harus berkomentar apa. Kata-kata lelaki itu makin menjengkelkanku.

***

Aku memang pelacur jalanan. Dan aku adalah pelacur jalanan yang naas.

Beberapa jam sebelum ini aku sedang mangkal di taman depan gubernuran. Tempat itu agak remang. Aku sering badadai di sana untuk menunggu laki-laki hidung belang berkantong pas-pasan.

Di usia yang sudah kepala tiga, aku memang terpaksa harus menurunkan target marketku. Ke jalan-jalan. Beda dengan ketika aku masih usia dua puluhan, saat aku mulai terjun dunia ini. Aku bisa nongkrong di diskotek dan bar-bar, untuk menjaring pria-pria berkantong tebal. Mainnya pun di hotel-hotel berbintang semacam Barito dan Mentari, atau paling apes cukup digoyang di dalam mobil bersofa empuk dan ber-AC. Aku biarkan diriku dijamah oleh beragam laki-laki asal aku mendapatkan imbalan uang yang berlimpah-limpah.

Itu dulu, saat wajahku masih segar dan dadaku masih montok. Sekarang, yang muda-muda daripadaku, lebih segar dan lebih montok daripadaku, mulai mengambil pasarku. Aku sadar diri dan mengalah. Itulah makanya aku mulai turba ke jalan.

Dan seperti malam ini, aku baru selesai melayani seorang anak muda yang bau badannya luar biasa. Sambil merapikan bedak di wajah, aku sandarkan diri pada sebuah pohon. Tanpa kusadari, tiba-tiba aku dengar teriakan suara perempuan entah dari sebelah mana.

“Razia! Razia!”

“Ayo, lari! Lari!”

Terdengan suara sempritan pluit bersahut-sahutan.

Reflek, kulempar tempat bedak di tanganku dan kubiarkan alas kakiku lepas. Segera ikut lari.

Aku tidak tahu ke mana arah lariku. Taman ini terlalu sempit. Di depanku menganga sungai Martapura yang sedang pasang. Bercebur, itulah pikirku saat ini.

Ketika hendak berancang terjun, kaki terpeleset. Bongkahan batok kelapa yang masih ada kulitnya, menjatuhkanku. Sebelah kakiku sudah menyentuh air. Akh, sial! Sebuah genggaman tangan yang sangat kuat mencengkramku. Ya, aku tertangkap.

Dua orang petugas berseragam menarik lengan dan bajuku. Aku terseret dan kemudian berusaha bangun. Cahaya senter yang menyilaukan dimain-mainkannya ke wajahku.

“Mau lari ke mana Kamu, ha?”

“Dasar lahung. Ayo ikut!”

Ya, aku memang tidak bisa lari lagi. Tangan-tangan keras itu menarik dan menaikkanku ke bak truk yang sudah disediakan. Di dalamnya, kulihat sudah ada dua tiga orang perempuan seperti aku.

Beberapa saat kemudian, bersama beberapa orang lainnya, kami dibawa ke tempat ini, kantor polisi.

***

“He, diajak ngomong malah melamun!”

Laki-laki berseragam itu mencegat lenaku.

“Dengar, ya! Kamu itu merusak citra Kartini. Kartini itu tokoh emansipasi. Harusnya Kamu jangan pakai nama itu! Ya, seperti teman-temanmu itu tadi. Namanya biasa-biasa saja. Iyut, Iru, Imar, Ilin, atau apa pun. Jangan Kartini! Ngerti?”

Aku hanya mengangguk.

Aku tidak bisa berbuat lain selain mengangguk.

Aku memang  tidak pernah memaksakan diri untuk terus menyandang nama Kartini. Ketika aku masih praktik di hotel-hotel, aku memang tidak pernah mengaku bernama Kartini bila langgananku menanyakan namaku. Selain aku tidak ingin orang kenal identitas asliku, aku juga saat itu mengganggap nama Kartini agak berbau kampungan. Walaupun di KTP-ku tertulis Kartini, teman-temanku didunia malam lebih mengenalkan dengan nama Catherin. Ya, sebuah nama yang punya nilai jual dan tidak berbeda jauh dari nama asliku.

Sejujurnya, aku sebenarnya bangga dengan nama itu. Sebagai seorang perempuan normal, aku sebenarnya sudah berusaha hidup layak seperti hidupnya Kartini: sekolah, bersuami, dan mengasuh anak.

Setelah tamat SMA, aku menikah dengan seorang laki-laki yang memang pacarku sejak sekolah. Ia juga orang Banjar. Tiga tahun kami menikmati hidup sebagai suami-istri yang berbahagia. Apalagi setelah dikarunia seorang anak laki-laki yang lagi-lagi lucu-lucunya.

Sayang, kenikmatan itu cepat berlalu. Sejak anak pertama kami itu lahir, suamiku jadi uring-uringan. Ia sering keluar malam sendiri. Pulang dini hari atau bahkan tak pulang sama sekali. Sampai suatu hari aku menangkap basahnya sedang bersama seorang perempuan lain di sebuah hotel.

Aku sok. Hatiku sakit sekali. Bagai kiamat, dunia ini rasanya menganga dan menelanku bulan-bulat.

Sepulangnya di rumah, suamiku bukannya minta maaf. Ia malah marah-marah dan menghajarku habis-habisan. Wajah dan tubuhku penuh legam dan berdarah.

Aku tidak tahan. Rumah tanggaku sudah mulai jadi neraka.

Sebagai perempuan yang beradab, aku tidak bisa menerima keadaan ini. Sang Kartini pun pasti juga tidak mau diperlakukan demikian, pikirku. Apakah kedudukan perempuan itu adalah warga kelas dua hingga boleh di duakan dan bahkan dianiaya? Apakah perempuan tidak bisa berbuat lain selain pasrah menerima keadaan diabaikan dan ditelantarkan? Tidak! Aku Kartini. Aku harus mengubah ini semua.

Aku pun mengajukan gugatan cerai. Pengadilan agama menyetujuinya. Cuma, satu hal yang aku tidak bisa terima, pengadilan memutuskan hak perwalian anak pada suamiku. Gila! Benar-benar gila! Entah, berapa juta dia menyogok hakim hingga anak yang mestinya masih kususui itu harus berada di tangannya. Sekali lagi perempuan dikalahkan.

Aku sempat stres berat. Apalagi setelah mantan suamiku membawa anak itu entah ke mana. Makin membuat aku gila.

Lama aku mengurung diri. Sampai kemudian seorang kawan perempuan, bekas teman sekolahku, datang dan menghiburku. Hampir saban hari dia menengokku, mengajakku ngomong, dan menghiburku. Dia memberi ketenangan padaku dengan mengenalkan obat-obatan penenang. Hingga aku pun seperti ketagihan.

Akhirnya, aku pun mulai diajak mengenal dunia malam. Dunia yang memberi kebahagiaan baru bagiku. Sebagai seorang perempuan yang pernah disakiti, aku benar-benar menikmati profesi baruku: wanita panggilan. Kubiarkan tubuhku dipeloroti laki-laki mana pun dan kupeloroti juga uangnya yang berlimpah-limpah.

Salahkah aku memilih ini? Marahkah Sang Kartini menyaksikanku begini? Aku adalah Kartini yang tidak bisa menutup-nutupi buasnya monopoli laki-laki. Aku tidak bisa sekadar menangis dan menulis kisah hidupku pada buku-buku atau surat-surat untuk dibaca perempuan lainnya. Aku harus bereaksi. Laki-laki sudah terlalu lama menjajah kebebasan perempuan. Bahkan sebelum zaman Sang Kartini lahir.

Salahkah aku? Tanyaku lirih.

***

 

“Ya, Kamu memang bersalah!”

Rupanya petugas di depanku ini mendengar lirih suaraku.

“Kamu bersalah karena menjajakan diri di jalan-jalan. Merusak lingkungan, tau?

Ya, aku mengakui, aku memang merusak lingkungan. Tapi, apa ada yang mau mengakui, siapa yang merusak aku sebagai perempuan? Akhhh …

Malam ini kepalaku betul-betul pusing. Aku tak tau lagi pertanyaan dan cercaan apalagi yang keluar dari mulut laki-laki di depanku ini.

Cahaya lampu neon tepat di atas kepalaku mendadak gelap dalam pandanganku. Kesadaranku mulai hilang. Melayang entah ke mana.

Aku mulai mencari jawab: apakah betul ada terang sehabis gelap bagiku?

                                                                         Banjarmasin, 19 April 2002

Keterangan:

–     ikam                      :     kamu

–     lawan                    :     dengan

–     handak                 :     hendak

–     nang                      :     yang

–     kaya                      :     seperti

–     badadai                :     memajang diri

–     lahung                   :     pelacur

2 comments

Tinggalkan komentar