Sang Gubernur

Oleh : Zulfaisal Putera

 

Dering HP-ku berbunyi pagi sekali. Tertulis nama ‘Gub’ pada layar. Aku tak kaget. Biasa, tiap waktu aku memang harus siap dihubungi sahabatku ini. Kadang untuk meminta pendapatku terhadap masalah yang sedang dihadapinya, atau sekadar komentar atas berita koran hari itu yang menyentil kinerjanya. Bisa juga untuk mengajakku menemaninya bertemu tamu-tamu khususnya di luar jam dinas.

“Pagi, Bos!”

Aku biasa memanggilnya begitu bila hanya berdua berbicara.

“Kamu hari ini ada waktu?” tanyanya membuka pembicaraan.

“Untuk Bos, saya selalu ada waktu”

“Pukul sepuluh nanti, kamu ke ruanganku!”

“Nggak ada tamu hari ini?” aku basa-basi bertanya.

“Ada. Yaitu kamu. Aku tunggu, ya!”

Tut. Tut. Tut.

Seperti panggilan lewat telepon sebelum-sebelumnya, aku tak pernah ambil pusing memikirkan apa gerangan yang akan ia perlukan dariku. Sebagai seorang sahabat, aku telah terbiasa dipakainya untuk berdiskusi tentang berbagai masalah. Apalagi sejak ia dilantik menjadi gubernur di daerah ini, aku tak pernah lepas dari sisinya untuk memberi masukan sesuai keinginannya.

***

Lima menit sebelum pukul 10.00 aku sudah menginjakkan kaki di lantai 2 kantor gubernuran, tempat orang nomor satu provinsi ini mengendalikan pemerintahannya. Tak ada beban bagi kakiku untuk menginjakkan sepatuku pada karpet merah sepanjang koridor itu. Di kantor ini, semua pegawai yang bertemuku selalu memberi senyum cerah sembari sedikit menganggukkan kepala. Sekalipun aku bukan pegawai di situ, mereka semua tahu siapa aku.

“Bapak sudah ditunggu. Silakan!”, seorang petugas protokol menyapaku di depan pintu ruang kerja gubernur.

Tak ada kalimat lain yang keluar dari mulut para protokol itu bila melihatku muncul di depan mereka, selain menyilakan. Mereka tahu, kehadiranku pasti atas panggilan atasannya. Dan itu berarti: penting! Aku memang boleh berbangga, karena bisa masuk kelompok tamu VVIP.

Protokol itu membukakan sebelah pintu untukku. Sebuah pintu kokoh yang terbuat dari kayu jati pilihan. Berukir gigi ikan gabus di sekeliling sisinya.

Seorang laki-laki berumur duduk menghadap ke pintu. Itulah sahabatku. Badannya tambun, pipinya berlemak, dan kepala hampir botak.

Matanya tajam bersinar. Ia melempar senyum melihatku.

“Pagi, Pak!”, sapaku sambil memasuki ruang kerjanya yang sejuk dan cukup lapang.

Sahabatku itu tidak sendiri. Di atas sofa jati beludru biru muda itu juga duduk seseorang. Aku kenal dia.

“Silakan duduk!”

“Ini, Pak Mulkan. Dia juga kuminta datang pagi ini.”, katanya memberitahuku akan kehadiran orang lain di ruangannya.

Mulkan!. Dalam kabinetnya, dia Kepala Biro Humas. Ya, semacam jubir. Tak ada masalah dia ikut hadir, karena kadang-kadang, bahkan sering, sahabatku itu memanggil kami sekaligus berdua menghadapnya. Biasanya, kehadiran Mulkan adalah untuk merekam kebijakan dan rencana apa dari bos besarnya untuk siap-siap menjawab dan menjelaskan apabila pihak-pihak luar ingin mengetahui. Pers, misalnya.

“Pagi, Pak Mulkan! Apa kabar?”, sapaku.

Seperti biasa, Pak Mulkan hanya mengangguk dan tersenyum.

Kulit pipinya menggelembung kalau ia tersenyum begitu.

Badan Pak Mulkan tidak segemuk sahabatku itu, tapi rambutnya masih lengkap. Walau sudah memutih sampai ke kumisnya.

Jari tangan kanannya menjepit sebatang pulpen yang siap ditorehkan pada agenda bersampul gambar burung garuda.

“Kita mulai saja, ya Pak?”

Sahabatku itu membuka pembicaraan.

“Seperti yang Bapak-bapak ketahui, kurang lebih lima belas hari dari sekarang, aku akan menyampaikan laporan pertanggungjawabanku selaku gubernur di daerah ini untuk setahun masa pemerintahanku. Untuk itu, hari ini aku memanggil kalian untuk meminta bantuan dan saran-saran!”

“Maaf, bantuan dan saran bagaimana yang Bapak perlukan dari kami, Pak?”

“Soal konsep isi laporannya?”, aku coba bertanya.

“O, bukan!. laporannya sudah siap, kok. Tinggal dibacakan. Bahkan beberapa kopinya sudah disampaikan ke dewan.”

“Atau, Bapak perlu bantuan untuk melobi para anggota dewan agar el pi ji Bapak mulus?”

“Soal itu, tak ada masalah. Semua anggota dewan adalah teman-temanku. Mereka pasti tahu apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menanggapi el pi ji ku. Apalagi sebagian dari mereka juga ikut berperan dalam pembuatan materi laporan tersebut.”

“Lalu, soal apa, Pak?”, Mulkan ikut mencoba bertanya.

“Barangkali masalah ucapan terimakasih untuk mereka, Pak! Maksudnya amplop?” aku beranikan diri menebak.

“Itu apalagi. Udah siap, kok! Tenang!”

Sahabatku itu tertawa lebar, tapi segera kembali merapatkan bibirnya sambil mengacungkan telunjuk kanannya di depan bibir.

“Lagi pula, tak etis kalau dibicarakan. Mereka tidak meminta. Tapi, aku tahu bagaimana membalas kebaikan mereka apabila menerima el pi ji ku”

Ia kembali tertawa. Aku dan Pak Mulkan juga ikut tertawa. Aku tidak tahu apakah tawa kami bertiga di ruangan ini punya motif yang sama. Yang pasti, tawaku adalah partisipatif saja. Biar sahabatku itu merasa aku sependapat dengannya.

“Yang ingin kuminta saran dari kalian adalah bagaimana mengatasi keadaan di luar gedung dewan saat el pi ji itu kusampaikan.” Ia mulai memberi tahu masalahnya.

“Maksud Bapak, keamanan saat acara itu berlangsung?” tanyaku seperti meyakinkan.

“Kan, ada petugas dari kepolisian. Bapakkan tinggal telepon kapolda”.

“No, no, no! Bukan. Pak kapolda udah siap kok, Berapa pleton pun kalau dibutuhkan, oke.”

Sahabatku itu mulai menyelipkan sebatang cerutu di bibirnya sembari menyulutnya dengan zippo berlapiskan emas.

Kedua bibirnya yang tebal dan agak menjuntai itu menjepit erat batang cerutu. Setelah mengisap agak dalam, lingkaran asap tebal menyembul dari kedua lubang hidungnya yang agak besar.

Sejenak cerutu itu beralih ke antara ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Seutas cincin perak besar bermatakan jamrud menghiasi jari manisnya.

“Begini. Kamukan tahu, beberapa elemen masyarakat, terutama dari mahasiswa dan el es em, sudah mulai gembar gembor untuk demo saat aku menyampaikan el pi ji itu”.

Cerutu itu diisapnya kembali. Kedua matanya menatap tajam kepadaku.

“Mereka jelas-jelas pasti menghasut massa untuk menyatakan menolak el pi ji-ku itu.”

“Lho, nggak ada pengaruhnyakan, Pak! Toh, yang bisa menyatakan menolak atau menerima itu hanya anggota dewan teman-teman Bapak itu?”, sanggahku.

“Memang benar!. Aku hanya tidak ingin ada kesan di masyarakat, terutama pers, bahwa kebanyakan elemen masyarakat tidak menyukaiku, sebab semua pendemo itu jelas menyatakan menolak el pi ji ku.”

Kadang aku tidak mengerti jiwa sahabatku ini. Untuk hal-hal yang besar, dia sangat optimis sekali, bahkan overoptimis bisa mengatasi. Misalnya, bahwa anggota dewan yang terhormat pasti akan koor menerima el pi ji-nya. Walaupun, ada isu bahwa salah satu materi laporannya tentang megaproyek pengerukan alur sungai menggunakan dana RAPBD akan menjadi batu sandungan el pi ji-nya, beliau tetap menganggap biasanya aja, mulus-mulus aja, dan itu sering terbukti. Namun, untuk mengatasi masalah seperti pendemo antigubernur yang sebenarnya ringan-ringan tersebut, sahabatku ini sangat terlihat pesimis, dan cenderung kurang percaya diri.

“Apa perlu saya kirim provokator ke dalam kelompok pendemo itu, Pak? Biar mereka berantem sesamanya sebelum maksudnya kesampaian.” Aku memulai dengan usul yang pertama.

Ia kembali menatap tajam kepadaku. Kedua ujung jari tangannya kembali menjulurkan cerutu itu ke bibirnya. Sebuah lingkaran asap kembali keluar dari lobang hidungnya

“Jangan!. Jangan!. Nanti malah lebih buruk keadaannya. Kalau para pendemo itu bentrok dengan petugas, malah ceritanya jadi panjang. Akan berhari-hari koran mengulasnya. Kemarin saja, ketika presiden kemari dan terjadi bentrok antara pendemo dengan polisi, pers justru menjadikan moment bentrokan itu sebagai head line, dan bukan berita kunjungan presidennya. Jangan!”

“Lantas, bagaimana maksud, Bapak?” Pak Mulkan bertanya kembali.

“Saya mengundang Bapak kemari itu untuk memberi saran, bukan bertanya!” sahut sahabatku itu agak lantang.

Dahinya berkerut. Tampak makin mengkilap kulit kepalanya. Cerutu yang tinggal sepertiga itu diisapnya dengan agak lama.

“Ee, begini saja, Pak! Bagaimana kalau kita siapkan demo tandingan!” Aku memberi saran yang kedua.

“Tandingan bagaimana?”

Ia seperti tertarik. Sedikit binar pada sudut matanya. Kulit kepalanya makinmengkilap.

“Kita kerahkan pendukung-pendukung yang Bapak punya selama ini!”

Aku mulai dengan pencerahan.

” Kalau dari tiga juta pendukung Bapak itu kita kerahkan seperempatnya saja, pasti para mahasiswa dan el es em anti Bapak yang cuma seratus dua ratus itu balik kucing. Atau malah membatalkan niatnya untuk mendemo Bapak!”

“Jadinya, pers tahu bahwa Bapak sebenarnya disenangi rakyatnya, karena saat Bapak menyampaikan el pi ji di dewan, ribuan orang mengeluk-elukkan Bapak di luar gedung”, kataku melanjutkan sedikit usulku sekaligus untuk melambungkan hati sahabatku itu.

“Ide bagus! Kamu emang lubuk saran yang tak pernah kering!” puji gubernur padaku sambil tersenyum lebar.

Gigi-gigi besarnya yang putih kehitaman tampak mengintip di balik bibirnya.

Ia isap kuat sisa cerutu di tangannya. Kemudian lingkaran asap putih keluar. Kali ini bukan hanya melalui lubang hidungnya, tapi sekaligus keluar dari mulutnya.

“Pak Mulkan, beliau ini bukan sekadar sahabatku, tetapi sekaligus penasihatku. Jadi, tak pernah sia-sia aku memanggilnya.”

Sekali lagi sahabatku itu memujiku di depan Pak Mulkan. Dan seperti biasa, Pak Mulkan hanya mengangguk dan tersenyum. Baginya, yang penting hasil akhirnya, karena itu yang nanti jadi bahan baginya sebagai jubir.

“Terus, selanjutnya bagaimana, Pak?”

Sahabatku itu mulai tak sabar mendengar uraianku. Jari-jari tangan kanannya menekan ujung cerutu yang masih merah ke asbak batu pualam berbentuk kuda sembrani.

“Gampang saja kok, Pak. Nanti saya akan menghubungi beberapa orang kepercayaan saya untuk ditugasi mengajak dan mengumpulkan orang dari berbagai kampung, bahkan dari kabupaten-kabupaten, agar bersedia menjadi peserta demo pendukung Bapak. Termasuk menyiapkan sarana penunjangnya, dari spanduk dan karton, kain pengikat kepala, truk-truk pengangkut, bahkan sampai pengadaan konsumsi dan sebagainya”, jelasku dengan cerdas.

“Berapa banyak orang kira-kira yang sanggup kamu kerahkan hari itu?”

“Tergantung, Pak!”

“Oo, itu. Uang, maksudnya? Gampang-gampang. Aku tinggal telepon Pak Karun, Pak Pundi, atau Pak Celeng. Mereka pasti siap keluarkan uangnya,” umbar sahabatku dengan nada optimis.

Orang-orang yang disebut sahabatku itu adalah para pengusaha besar bidang pertambangan yang selama ini jadi sumber uang pendukung kegiatan-kegiatannya. Tinggal angkat telepon dan bilang ada rencana ini itu, tak sampai 24 jam akan datang utusan si pengusaha mengantarkan selembar cek.

Pernah pada suatu waktu, sahabatku itu akan melakukan lawatan ke negeri nun jauh di benua Europa dalam rangka mengikuti pameran dagang sekaligus menawarkan potensi daerah ini agar dapat dilirik investor sana. Karena membawa rombongan yang melibatkan banyak orang, tentu tidak sedikit biaya yang diperlukan. Anggaran dari kas daerah, konon hanya cukup untuk transportasi. Maka, sahabatku itu pun langsung menelepon para pengusaha tersebut. Dalam pembicaraan, ia hanya mengatakan,

“Pak, lusa, saya dan rombongan mau pergi ke luar, nih! Kalau ada keperluan, kamu masih bisa temui saya esok!”

Walaupun agak paradoks, tapi kalimat di atas betul-betul magnet yang luar biasa.

Esoknya, tiga orang utusan para pengusaha itu antri ingin menghadap Sang Gubernur. Mereka datang sebentar dan hanya menyampaikan titipan bos masing-masing, yaitu selembar cek!

Yah, begitulah enaknya kalau punya teman pengusaha. Apalagi kalau punya sahabat seorang gubernur, seperti aku ini.

Aku bukan pengusaha seperti mereka. Aku hanya seorang sipil yang kerja serabutan: jual beli mobil bekas. Lumayanlah. Sedang, mengapa aku sangat akrab dengan Sang Gubernur, itu rahasia. Cukup panjang sejarahnya.

“Bagaimana, Pak?” ia memecah lamunanku

“Kalau begitu, nggak ada masalah, Pak! Tinggal pelaksanaannya saja lagi.”

Aku mulai menyimpul pembicaraan.

“Kalau rencana ini bisa berjalan, saya yakin, Pak, semua koran pasti akan menulis bahwa bukan hanya anggota dewan yang menerima el pi ji Bapak, tapi juga rakyat yang Bapak pimpin.” Pak Mulkan yang sejak tadi diam, kali ini ikut menggarisbawahi.

Sahabatku itu tertawa makin lebar. Gigi-giginya makin menyeringai. Aroma harum mulutnya menyebar sampai ke hidungku.

“Tentu. Tentu! Pokoknya, atur baik-baik! Dan ingat, jangan sampai rencana ini tercium pers!”

***

Hari ini kota terlihat cerah. Matahari menyiram dengan terangnya yang lembut. Aku, sejak pagi sekali sudah tiba di ujung jalan menuju gedung dewan. Dari pos satpam sebuah bank tempatku duduk ini tampak jelas gedung dewan yang megah itu dan lalu lintas jalan yang menuju ke sana. Terlihat kesibukan puluhan, bahkan mungkin ratusan polisi mengatur diri dan menyiapkan barisannya, lengkap dengan tameng, pemukul rotan, bahkan senapan gas air mata. Seperti mau menghadapi kerusuhannya saja.

Beberapa mobil anggota dewan mulai memasuki halaman gedung. Tampak mengkilap dan baru, seperti warna jas yang dipakai oleh anggota yang mulai keluar dari mobil dan berjalan menaiki tangga. Mereka memang pantas tampil demikian untuk memberikan gambaran bahwa mereka adalah wakil rakyat terhormat yang mendapat kepercayaan penuh dari rakyatnya. Apalagi dalam acara seperti ini, sidang paripurna untuk mendengar laporan pertanggungjawaban gubernur. Sudah tentu harus dengan penampilan yang terbaik.

Tak beberapa lama kemudian, dan ini yang aku tunggu-tunggu, tampak perlahan tapi pasti, mulai muncul mobil-mobil truk, pick up, dan kendaraan pribadi dari berbagai arah jalan. Di atas bak truk dan mobil tersebut tampak ratusan kepala dengan ikat kepala sama berwarna putih. Terbaca jelas: PENDUKUNG GUBERNUR.

Berarak satu-persatu menuju arah ke gedung dewan. Polisi pun mulai tampak sibuk mengatur kedatangan mereka. Apalagi setelah semua penumpang itu turun dari kendaraan yang mereka tumpangi. Seperti sebuah tumpahan massa yang akan menghadiri sebuah pertunjukkan musik.

Mereka mulai meneriakan yel yel mendukung gubernur dan meminta anggota dewan menerima el pi ji-nya. Aku, luar biasa lega. Kerja kerasku seminggu ini untuk menyiapkan rencana tersebut tak sia-sia. Koordinator lapangan yang kupercaya tampak tangkas mengatur rombongan masing-masing. Semua lancar!

Sambil menelonjorkan kaki, kuraih koran hari ini yang kubawa dari rumah dan tak sempat kubaca tadi. Aku lihat headline-nya: “Gubernur Kerahkan Ribuan Pendukungnya Hari Ini: Pendemo Diupah Rp25.000,- / Orang”.

Biji mataku serasa meloncat membaca judul berita tersebut. Kepalaku langsung terasa pening. Aku tidak mengerti dari mana pers tahu soal ini. Sementara dari jauh kudengar suara-suara pendemo yang senada:

“Hidup, Pak Gubernur! Hidup, Pak Gubernur!

“Hidup, dua puluh lima ribu!”

Pandanganku mulai berkunang-kunang.

Kumatikan HP-ku. ***

Tinggalkan komentar