Menggalang Dana untuk Pendidikan

Menggalang Dana

untuk Pendidikan

Oleh : Zulfaisal Putera*

 

     Memasuki bulan Mei tahun ini, Pemerintah Kota (Pemko) Banjarmasin mulai unjuk kepedulian terhadap dunia pendidikan di kota ini. Setelah menggagas rencana meng-ATM-kan gaji PNS di lingkungan pemko, sebentar waktu lagi akan dimulai kegiatan penggalangan dana untuk pendidikan. Rencana kegiatan ini sudah mulai disosialisasikan. Format teknik pengumpulan dana tampaknya sudah disusun dengan terencana. Bahkan, hitung-hitungan dana yang bakal dikumpulkan dari para penyumbang pun sudah memunculkan nilai nominal tertentu. Sudah pasti, niat baik ini patut kita sambut dengan baik pula. Mengingat kebutuhan akan dana untuk pendidikan ini sudah sangat mendesak.

     Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap segala permasalahan di wilayahnya, sudah seharusnya pemerintah kota memiliki kepedulian semacam itu. Lebih-lebih terhadap bidang pendidikan, wadah untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Tentunya memerlukan sentuhan tersendiri, yang tidak sekadar slogan-slogan persuasif, tapi juga terobosan-terobosan yang briliyan. Apalagi menyangkut masalah yang krusial dalam setiap usaha pembangunan, yaitu  penyediaan dana.

     Selama ini, masalah dana untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan di Indonesia tidak pernah terpecahkan secara frontal. Pembicaraan tentang pihak mana  yang paling bertanggung jawab terhadap penyediaan dana untuk pendidikan masih belum menemukan jawaban pasti. Apalagi menyangkut berapa besar sebenarnya dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan masih belum menemukan angka yang ideal. Pemerintah di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain, seperti saling berharap untuk itu.

     Kalau kita membuka kembali Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyangkut dana untuk penyelenggaran pendidikan disebutkan secara lugas dalam pasal 36. Ayat 1 menyebutkan “Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Sementara untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, disebutkan dalam ayat 2 sebagai ” … tanggung jawab badan / perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.” Namun demikian, pada ayat 3, pemerintah menegaskan dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

     Mencermati bunyi ayat-ayat yang ada pada undang-undang tersebut kita dapat berasumsi bahwa pemerintah adalah pemegang kendali utama sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyediaan dana untuk kegiatan pendidikan. Artinya lagi, pemerintahlah pihak yang pertama kali yang mesti dimintakan bantuannya apabila ada permasalah terhadap dana penyelenggaraan pendidikan. Dari permasalahan sarana dan prasarana, software hingga hardware, sampai masalah peningkatan kesejahteraan bagi guru dan tenaga pendidik lainnya. Apalagi sekolah-sekolah yang menyandang cap sebagai sekolah negeri.

     Kita mengakui bahwa dana pembangunan sangat terbatas, hingga alokasi dana untuk pendidikan pun juga ikut terbatas. Sayangnya, hal demikian sering dijadikan alasan rutin pihak pemerintah untuk berlindung dari makin besarnya tuntutan masyarakat akan kebutuhan dana untuk pendidikan. Akibatnya, masyarakat pun dituntut untuk ikut juga menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Apalagi kalau kita teliti dan kembali membuka UU  tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 25, ayat 1, akan kita temukan klausul yang menyatakan bahwa setiap peserta didik berkewajiban untuk “ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan …”.

     Selama ini memang kita rasakan, betapa beratnya beban masyarakat dalam menanggung biaya pendidikan. Sekali pun pemerintah telah mengusahakan adanya peringanan biaya pendidikan untuk beberapa komponen dan satuan pendidikan, misalnya pembebasan SPP dari sekolah dasar sampai menengah atas, maupun beberapa program pemberian beasiswa untuk siswa-siswa yang pantas menerimanya. Namun, di sisi yang lain, masyarakat justru menanggung beban yang lebih berat dengan adanya pungutan lain dari Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), sebagai organisasi orang tua siswa yang dilegalkan untuk menarik dana. Bahkan, kalau dihitung-hitung, malah lebih besar BP3 dalam menarik dana tinimbang oleh pemerintah.

     Kondisi seperti yang disebut di atas sudah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum UU No. 2 itu disusun. Pemerintah orde baru telah membiasakan kita untuk ‘ikhlas’ ikut menanggung beban demikian. Padahal dalam sabdanya di kitab-kitab sucinya, pemerintah selalu mengagungkan persoalan pendidikan sebagai masalah yang fundamental, karena menyangkut pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang handal untuk mencapai salah satu tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam kenyataannya, pemerintah tetap setengah hati dalam menyediakan dana untuk penyelenggaraannya. Sangat jauh berbeda apabila pemerintah akan membangun jalan, jembatan, gedung, bahkan ketika akan membantu menalangi hutang bank-bank bermasalah, triliyunan rupiah lancar dikucurkan.

     Kalau alasan sentralisasi pembangunan yang terpusat pada satu titik – pemerintah pusat – yang menjadi sebab hingga sedikitnya jatah kue anggaran untuk pendidikan, maka tampaknya tidak terlalu mengada-ada. Negara-negara besar semacam Amerika dan Jerman, yang menganut sistem yang sama pun ternyata dapat membiayai pendidikan dengan kekuatan penuh di tangan pemerintah. Bahkan, mereka menghambur-hamburkan bea siswa untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang dari negara lain agar ikut mengecap pendidikan di negaranya. Inilah problem pendidikan kita selama ini. Terlepas dari persoalan kurikulum yang juga punya masalah tersendiri, pendidikan di Indonesia memang memerlukan dana yang sangat besar.

     Lepas dari sistem sentralistik, Indonesia menuju ke desentralisasi. Dengan otonomi daerah (otda), pemerintah mulai menata diri dengan memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah kota (pemko) untuk mengelola sendiri persoalan pembangunan di wilayahnya, termasuk masalah pendidikan. Kesempatan yang sangat menjanjikan ini ternyata tidak lebih baik dari kondisi sebelumnya. Pemda dan pemko yang bertindak otonom dalam mencari dan menggunakan dana ternyata cukup keteter  ketika harus bertanggung jawab membiayai pendidikan. Walaupun pemerintah pusat masih mengucurkan bantuan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Aloksi Khusus (DAK) untuk sebagiannya digunakan dalam menyelenggarakan pendidikan, toh penyalurannya masih tidak sepenuhnya sesuai seperti yang disepakati.

     Kenyataan ini sudah pernah disitir oleh Rektor Universitas Pendidikan (UPI) Bandung dalam sebuah kesempatan, bahwa pendidikan belum merupakan prioritas tinggi yang memegang peran strategis dalam pembangunan sumber daya manusia daerah. Kondisi otda dari kacamata pendidikan jelas tidak menggembirakan (Media Indonesia, 19/4/2002). Hal yang senada bahkan pernah diungkapkan oleh orang yang bertanggung jawab dalam masalah dana itu sendiri, yaitu oleh Direktur Dana Perimbangan Departemen Keuangan (Depkeu) Kadjatmiko. Dalam sebuah seminar di Jakarta (7/3/2002), ia mengakui bahwa kepedulian sebagian besar pemda pada bidang pendidikan masih diragukan. Selama ini, katanya, pemda mengeluh bahwa anggarannya tidak cukup jika harus mengalokasikan lebih banyak dana pada bidang pendidikan. Ironisnya, mereka juga kurang memanfaatkan DAK nondana reboisasi tahun anggaran 2002 yang tersedia untuk pembangunan bidang pendidikan (Kompas, 8/3/2002).

     Seperti yang kita ketahui, DAK adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus. Berbeda dengan DAU,  DAK relatif terbatas karena dana tersebut pada dasarnya dikaitkan dengan pembiayaan kegiatan tertentu, termasuk kegiatan reboisasi yang pembiayaannya dari penerimaan dana reboisasi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2000, kebutuhan khusus dalam DAK adalah untuk membiayai kegiatan antara lain: program-program yang merupakan komitmen nasional atau prioritas nasional (disebutkan pada poin ‘b’), yang dananya diambil dari bagian daerah yang ditetapkan sebesar 40 persen dari penerimaan dana reboisasi tahun anggaran yang bersangkutan.

     Kadjatmiko menguraikan, bahwa dari Rp 2,8 trilyun nilai usulan yang dibuat pemda untuk DAK hanya 17 persen yang minta untuk pendidikan. Usulan paling dominan adalah untuk pembangunan sarana dan prasarana, yakni mencapai 77 persen. Sisanya untuk bidang kesehatan. Kita tidak tahu apakah angka 17 persen dari nilai 2,8 trilyun itu sudah dianggap cukup atau kah masih kurang, namun bila dibandingkan dengan kebutuhan bidang lain, tampaknya pendidikan bukanlah dianggap sebagai persoalan penting. Apalagi dianggap sebagai sesuatu yang termasuk dalam prioritas nasional. Jadi, agak susah memang kita mencoba menafsirkan pola pikir para pengusul anggaran tersebut.

     Saya jadi teringat pernyataan salah seorang pejabat lapis kedua di Dinas Pendidikan Propinsi daerah ini, ketika sedang ada keperluan dinas ke sana. Beliau memberikan ilustrasi bahwa sejak otda ini berjalan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya akan berkurang dari biasanya. Bahkan bisa jadi sepi kegiatan. Sebabnya, dana untuk itu tidak tersedia. Padahal, menurut beliau lagi, DAU yang dianggarkan untuk bidang pendidikan sebenarnya mencapai 40 persen. Namun, nyatanya itu hanya di atas kertas. Sebagian besar malah digunakan pemda untuk keperluan di luar bidang pendidikan, yang katanya amat sangat mendesak dan very very important.  Benar atau tidak, tapi pada kenyataannya dunia pendidikan nasional, khususnya pendidikan di daerah sudah mulai merasakan dampaknya.

     Ada tiga penyebab mengapa pemda kurang bergairah dalam mengusulkan anggaran pendidikan, baik untuk DAU maupun DAK. Pertama, pemda kurang menempatkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama. Dalam pola pikir daerah, yang namanya pembangunan masih berupa pembangunan fisik, pembangunan yang hasilnya cepat dan tampak oleh mata. Sedangkan pendidikan adalah persoalan abstrak yang hasilnya tidak bisa dirasakan dalam waktu yang relatif cepat. Bagi seorang gubernur kepala daerah atau pun seorang walikota, yang kesempatan menjabatnya  kurang lebih 5 tahun tersebut, ia akan lebih dikenang dan dipuji bila berhasil membangun gedung, jembatan, atau proyek fisik lainnya yang dapat dilihat langsung hasilnya, tinimbang membangun bidang pendidikan yang hasilnya memang tidak bisa dilihat pada saat ia masih menjabat.

Penyebab kedua, daerah masih menganggap bahwa pendidikan merupakan prioritas nasional sehingga permasalahan pendidikan yang dihadapi daerah pasti ditangani dan didanai oleh pemerintah pusat. Anggapan demikian wajar timbul karena pemerintah pusat tetaplah masih sebagai pihak yang bertanggung jawab mengelola dana pendidikan. Selain undang-undang yang ada masih menjamin hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penghulu peraturan masih menguatkan kedudukan pemerintah sebagai penanggung jawab. Apalagi kalau kita mengikuti amandeman UUD yang masih berjalan alot itu, maka kita Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (BP) MPR telah memutuskan pada UUD 1945 mencantumkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN (Media Indonesia, 15/4/2002). Bisa dibayangkan betapa besar dana pendidikan yang ditanggung pemerintah dan dibagi-bagi ke daerah-daerah.

Penyebab ketiga adalah alasan paling klasik, yaitu daerah memiliki keterbatasan keuangan. Betulkah demikian? Bisa iya, bisa tidak. Untuk daerah Kalimantan Selatan sendiri siapa bilang punya keterbatasan dana. Di luar dana yang tersedia di APBD,  pemda ternyata masih mendapat dana “tak terduga” dari pembagian royalti batubara yaitu sebesar Rp 55 milyar. Namun apa lacur, dasar memang otak dagang, pemda hanya memberi jatah  untuk pendidikan sebesar Rp 5,4 milyar (Radar Banjar, 16/4/2002). Tidak sampai 10 persen. Itu pun masih digabung dengan kebutuhan kebudayaan nasional. Bahkan kalau diambil hati, jatah untuk pendidikan itu terasa seperti sebuah  basa basi yang menghina saja, karena ternyata masih lebih besar anggaran yang diteriam DPRD Kalsel dan Sekda Provinsi, yaitu sebesar Rp 6,5 milyar (menurut seorang kawan, anggaran sebesar itu paling habis buat beli mobil dinas baru atau sekadar biaya studi banding!).

  Tidak salah memang kalau pada Seminar Pendidikan Nasional di Hotel Arum Banjarmasin (20/4/2002) kemarin, terungkap anggapan dari seorang pembicara, yaitu Prof. DR. Achmad Sanusia, S.H., M.P.A, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, bahwa otda bukannya membuat dunia pendidikan tambah baik, tetapi malah makin jelek saja. Adakah ini akibat dari terlalu lamanya kita (pemimpin di daerah) menyusu ke payudara pemerintah pusat pada era sentralistik; sehingga ketika disapih, kita seperti orang putus susuan. Tak sempat berpikir untuk menganggar beli susu pengganti, tetapi malah asyik memborong baju, celana, dan sepatu.  Ataukah memang mental pemimpin di daerah kita adalah mental pedagang, yang lebih berminat jual-beli barang konsumsi untuk fisik tinimbang jual-beli barang abstrak semacam pendidikan.

     Sebaiknya kita memang tidak terlalu mengutuk kondisi demikian. Mengambil kesimpulan stereotif bahwa semua daerah tidak peduli pada pendidikan, barangkali terlalu naif. Kita boleh iri dengan kota Padang. Selain dikenal suka memanjakan lidah kita dengan aneka masakannya, pemerintah daerah ini juga memanjakan bidang pendidikan dengan mengalokasikan hampir 50 persen APBD-nya untuk itu. Di samping tersedianya dana abadi pendidikan yang dikumpulkan dari para pengusaha-pengusahanya yang sukses di perantauan, juga melalui pungutan-pungutan yang diambil kegiatan perdagangan, jasa, dan industri. Alangkah bijaknya kalau kita kita tidak sekadar mencicipi pedasnya masakannya, tapi juga mencicip cara orang Padang menggalang dana untuk pendidikannya.

     Sebagai sebuah usaha yang konstruktif, tidak salahnya kita menyampaikan salut kepada pemko Banjarmasin, yang juga turut memikirkan usaha penggalangan dana untuk pendidikan di daerah ini di luar dana yang sudah disediakan oleh APBD kota. Mencari berbagai cara dan formula yang tepat dan cepat untuk dapat mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan kecermatan dan ketekunan yang amat sangat. Akan lebih baik kalau pihak pemko membuka sebanyak-banyaknya pintu diskusi, agar berbagai pihak – dan tidak terbatas orang-orang di sekitar walikota – dapat memberikan sumbang sarannya tentang bagaimana cara dan di mana saja sumber uang yang dapat digalang sebagai dana pendidikan.

     Apa yang direncanakan oleh pihak pemko sebagai tahap awal penggalangan dana, yaitu dengan melakukan pemotongan gaji para PNS dan guru adalah bagus. Karena cara ini termasuk cepat dan pasti dapat mengumpulkan dana. Walaupun begitu, sekalipun PNS yang dipotong gajinya berada dalam kekuasaan pemko, namun jangan sampai pihak pemko selaku eksekutor gaji melupakan tatakrama. Sampaikanlah terlebih dahulu rencana pemotongan ini secara transparan dan tertulis kepada semua PNS yang menjadi sasaran, hingga mereka bisa mempelajari dan memahami niat baik ini. Apalagi untuk PNS guru yang nota bene sudah terlalu banyak potongan pada gajinya, sekali pun cuma Rp 500,- s.d. Rp 1.000,- tentu akan lebih santun kalau mereka diberi kesempatan menyetujui.

     Terlepas dari pemotongan gaji tersebut, kalau melihat nilai nominal dana terkumpul yang sebesar kurang lebih Rp 9.934.000,- perbulan tersebut, tentu masih dirasa terlalu kecil untuk menyokong penyelenggaraan pendidikan se majemuk kota Banjarmasin ini. Diperlukan sepuluh bahkan seratus kali lebih besar dari nilai nominal tersebut. Terlalu banyak masalah pendidikan yang memerlukan suntikan dana setiap bulannya. Bukan sekadar perbaikan sarana-sarana fisik seperti gedung dan meja-kursi sekolah saja (seperti di SD-SD), tapi bisa juga perbaikan jalan menuju sekolah, buku-buku, alat-alat peraga, bahkan untuk sedikit menopang peningkatan kesejahteraan guru (semacam insentif khusus dari pemko untuk guru-guru dengan klasifikasi tertentu). Dan beragam persoalan pendidikan lainnya yang kadang muncul tiba-tiba setiap bulannya.

     Untuk memenuhi kebutuhan dana sebesar itu tentu pihak pemko tidak bisa sekadar memotong gaji pegawainya saja. Harus dilakukan gerakan yang lebih lebar lagi sebagai diversifikasi penggalangan dana.  Misalnya kerja sama dengan berbagai instansi, baik negeri maupu swasta, yang di bawah kewenangan Pemko Banjarmasin. Ambillah contoh kerjasama dengan pihak PDAM, Telkom, dan PLN. Dengan mengeluarkan kebijakan (berupa perda atau peraturan lainnya) bahwa kepada setiap pelanggan ketiga perusahaan tersebut dikenai  sumbangan wajib dana pendidikan sebesar Rp 50,- s.d. Rp 100,- setiap kali membayar tagihan pemakaian jasanya. Bisa dikalkulasi berapa puluh juta uang bisa diraup setiap bulannya. Belum lagi kalau dikaitkan dengan kepengurusan surat-menyurat di berbagai instansi, seperti KTP, Paspor, Surat Tanah, Pajak Kendaraan, IMB, Pajak Reklame, dan sebagainya, tentu dengan pungutan yang sama kecilnya akan dapat terkumpul lebih banyak lagi.

     Saya pikir, setiap kita tentu akan sangat ikhlas menyumbang sedikit dari rezeki kita untuk kemajuan pendidikan di kota kita sendiri. Sumbangan Rp 50 s.d. Rp 100 yang kita sertakan disetiap penyelesaian urusan jasa dan perdagangan  di kota ini tentu tidak akan menguras harta kita pelan-pelan, apalagi sampai habis. Nilai yang tak cukup untuk beli sebatang rokok itu tentu akan sangat bermanfaat besar bagi dunia pendidikan kita kalau kita secara bersama-sama menggalangnya. Bersama-sama bergerak demi kemajuan dunia pendidikan di kota Banjarmasin tercinta ini. Siapa tahu, suatu saat, kota ini punya dana abadi pendidikan yang tersimpan dan digunakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Alangkah elok hidup anak-cucu kita menuntut ilmu di sekolah tanpa harus memikirkan mecari dana untuk keperluan yang macam-macam.

     Sekarang, tinggal bagaimana kita memulai. Selain tergantung kepada kita selaku warga kota ini, juga sangat tergantung kepada kesungguhan pihak pemko sebagai penggagas dan pengelola. Mengumpulkan uang, menyimpan, dan menyalurkannya bukanlah pekerjaan mudah dan gampang. Diperlukan keterampilan manajemen pengelolaan yang benar-benar profesional. Apalagi jika ingin penggalangan dana ini berumur panjang, tentu selain diperlukan modal kecakapan, juga modal kepercayaan dari mereka yang menyumbangkan uangnya. Saatnyalah pemko memilih orang-orang yang tepat sebagai pengelola. Melibatkan banyak pihak dari berbagai profesi, tentu sikapyang bijak. Dari sini nanti, akan tumbuh suatu sikap kebersamaan untuk kepentingan bersama, menggalang dana dari masyarakat untuk pendidikan bagi kepentingan masyarakat juga.

    

* Penulis adalah pemerhati masalah  pendidikan  dan sosial tinggal di Banjarmasin.

?

1 comments

Tinggalkan komentar