Menjemput "Lamut" Agar Tak Berlumut

MENJEMPUT “LAMUT” AGAR TAK BERLUMUT

Oleh Zulfaisal Putera

 

  Benarkah kesenian tradisional “Lamut” hampir punah? Pertanyaan ini menyergap pikiranku ketika membaca judul makalah yang disampaikan Sirajul Huda (SH), Kepala Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, dalam Sarasehan Seni Tradisional “Balamut” pada hari Rabu, 21 Nopember 2007 yang lalu. Walaupun isi makalah yang berjudul “Lamut : Sebuah Kesenian Tradisional Kalimantan Selatan yang Hampir Punah” itu hanya menguraikan apa itu kesenian Lamut, tapi dalam pembicaraannya mencuat suatu kekhawatiran yang amat sangat akan nasib salah satu seni bertutur daerah ini.

Tak dapat dipungkiri seni Balamut tak banyak dikenal oleh khalayak muda sekarang ini. Sebagai sebuah kesenian tradisional Kalimantan Selatan, Lamut kalah populer dibanding Madihin atau pun Mamanda. Bukan karena masyarakat tidak mau tahu dengan seni yang satu ini, melainkan karena memang diakui frekuensi Balamut di panggung pertunjukkan nyaris tak terdengar. Jika pun ada, mungkin hanya satu atau dua kali dalam setahun.

Sampai memasuki akhir tahun 2007 ini aku sendiri hanya ‘sempat’ menyaksikan dua kali pementasan Lamut. Pertama, di malam kedua kegiatan Kongres Cerpen Indonesia V (27 Oktober 2007), dan kedua, di malam pembukaan Kongres Budaya Banjar I (30 Oktober 2007). Uniknya, kedua pertunjukkan Lamut di dua kegiatan yang berbeda itu dibawakan oleh orang yang sama, yaitu Djamhar. Sempat timbul pertanyaan, apakah hanya beliau di banua ini yang mampu Balamut?

Barangkali menjadi menarik ketika persoalan Lamut ini kembali diangkat ke permukaan. Sebuah sarasehan seni yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Daerah (BID) Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) telah mencoba mengusung ha ini. Selain SH, sarasehan itu juga menampilkan pembicara Amanul Yakin Anang (AYA), Ketua FK Metra. Terlepas dari apakah kegiatan tersebut hanya sekadar menuntaskan agenda kerja lembaga tersebut, tapi masih ada yang bisa dicuri dari sini, yaitu sebuah kepedulian.

 

Kepatutan Lamut

 

Lamut adalah salah satu seni tradisional Banjar yang masih dianggap agak spesifik. Dalam kesejarahannya Lamut merupakan sebuah kristalisasi budaya masyarakat Banjar yang berproses secara alami dan cukup panjang. Bahkan ada kecendrungan Lamut ditafsirkan sebuah seni tradisional yang memiliki kekuatan mitos. Oleh sebab itulah, Lamut memiliki pakem yang tak bisa dilanggar. Baik menyangkut tempat pergelaran, penyajian, alat musik, maupun isi ceritanya. Hal inilah yang mungkin membuat Lamut jadi begitu sakral sebagai sebuah seni pertunjukkan.

Menurut SH, Seni Balamut sesungguhnya adalah seni bercerita. Tak ubahnya seperti penampilan wayang yang selama ini dikenal. Dalam mitologi, seni semacam ini adalah bentuk pemujaan atau upacara keagamaan yang berhubungan dengan kepercayaan yang dilakukan pada malam hari untuk memuja sang hyang. Pergelaran Lamut menyajikan kisah dramatis, romantis, herois yang indah dan abadi. Setiap tokoh yang ditampilkan mewakili sifat-sifat manusia. Mirip dengan tokoh-tokoh dalam wayang purwa. Ceritanya boleh disadur dari cerita Panji, Andi-andi, ataupun Tutur Candi. Bisa pula cerita 1001 malam. Pergelarannya biasanya menghabiskan waktu semalam suntuk.

Lamut hanya dibawakan oleh satu orang yang disebut Palamutan. Jika di lapangan luas, Palamutan ini duduk di atas pentas ukuran kira 2 X 2.5 m yang disebut “cacampan”. Jika di dalam ruangan, Palamutan duduk di atas sarung yang disusun sedemikian rupa berbentuk segi empat. Di samping Palamutan biasanya diletakkan padupaan. Bahkan jika Balamut untuk pengobatan, di depan Palamutan harus tersedia 41 macam kue Banjar.  Alat instrumen Palamutan adalah gendang,  “tarbang’ (Banjar Hulu) atau ‘terbang” (Banjar Kuala). Alat ini diletakkan di atas paha atau dirangkul dengan posisi kaki bersila.

Paparan di atas menggambarkan pada kita bagaimana kepatutan sebuah Lamut. Sangat berbeda dengan seni pertunjukkan tradisional Banjar lainnya seperti Mamanda atau Madihin. Sekali pun masih dibungkus dengan baju tradisional, kedua seni tersebut sudah mengalami ‘penyusupan’, terutama dari pesan-pesan yang disampaikan dalam ceritanya. Apalagi dalam penampilannya selalu diramu dengan bumbu humor. Yang masih alami seperti Balamut barangkali hanya Badundang dan Badudus.

Apakah karena ketatnya aturan main sebuah Lamut maka amat sangat sedikit orang yang bisa menjadi Palamutan. Sekarang ini, hanya dua Palamutan saja lagi yang tersisa, yaitu Djamhar yang tinggal di Kuin dan Gt. Nafiah yang tinggal di Kampung Melayu. Kondisi keduanya pun sudah sangat sepuh. Jika kedua tokoh ini tiada, maka habislah generasi Palamutan di banua ini. Sementara sampai sekarang belum ada satu pun generasi muda penggantinya. Kekhawatiran ini mengemuka saat sarasehan seni itu berlangsung. Pembicara dan peserta sepakat bahwa perlu dilakukan regenerasi Palamutan.

 

Bersungut soal Lamut

 

Ada dua tantangan, menurut AYA, yang harus dihadapi Lamut dalam mengembangkan diri. Pertama, dalam hal rekuitmen. Lambatnya regenerasi membuat rekuitmen menjadi tak pasti Kedua, tak jelas siapa pihak yang bertanggung jawab atas pengembangannya. Untuk tantangan yang pertama, barangkali kita semua punya banyak saran dan cara untuk menjawabnya. Namun, untuk tantangan kedua, terasa agak sumir bila hal itu harus dikemukakan. Sekali pun saat sarasehan itu AY berbicara selaku Ketua FK Metra, tapi sebelumnya beliau adalah birokrat yang pernah menjadi Kepala Disbudpar.

Di republik semacam Indonesia ini ada banyak lembaga yang bisa dianggap sebagai pihak yang ‘bertanggung jawab’ dalam pelestarian dan pengembangan seni tradisional. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Taman Budaya adalah dua lembaga yang paling berhak untuk dituntut. Dengan label ‘budaya’ pada nama lembaga tersebut jelas salah satu urusannya adalah pelestarian dan pengembangan seni budaya semacam Lamut. Lembaga berikutnya adalah Dinas Pendidikan. Sekali pun sudah melepas kata ‘budaya’ sejak bermetamorfosis dari Departemen Pendidikan Kebudayaan yang dulu mempunyai Bidang Sejarah dan Seni Tradisional (Jarahnitra), tapi fungsinya sebagai lembaga yang mengurusi persekolahan tentu sangat besar dalam mensosialisasikan keberadaan Lamut di lembaga pendidikan.

Lembaga yang paling baru adalah Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra). Lembaga yang didirikan atas prakarsa Kementrian Komunikasi dan Informasi ini merupakan wadah berhimpunnya komunitas kesenian tradisional kesenian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia ini. Untuk daerah Kalimantan Selatan, FK Metra sudah berdiri sejak 26 Juli 2006. Dengan hadirnya FK Metra, sebenarnya makin lengkaplah kehadiran lembaga yang bisa  bekerjasama untuk menjaga eksistensi seni tradisional.

Jika muncul pernyataan bahwa seni tradisional Lamut sekarang sudah hampir punah, maka yang mengemukakan selanjutnya adalah mengapa sampai terjadi kondisi demikian. Apa saja yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut sehingga Lamut sudah hampir ‘berlumut’. Pastilah lembaga-lembaga tersebut tentu akan mengaku sudah banyak berperan sesuai fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing. Tak salah memang dan kita tidak perlu saling menyalahkan. Yang diperlukan adalah apa usaha nyata kita untuk menyelamatkan Lamut.

Dalam sarasehan tersebut muncul wacana bagaimana menjawab tantangan yang pertama, yaitu soal lambatnya regenerasi yang membuat rekuitmen menjadi tak pasti. Jika berbicara soal regenerasi, maka akan muncul pertanyaan generasi bagaimana yang bisa disiapkan untuk itu. Dalam pikir saya sebagai seorang pendidik, generasi yang bisa disasar untuk itu adalah orang muda yang terpelajar. Orang-orang semacam ini dapat diberi penyadaran mendalam tentang pentingnya nilai sebuah seni budaya dan perlunya mempelajari seni, termasuk yang bersifat tradisional. Komunitas orang-orang demikian tentu ada di sekolah.

Rekuitmen regenerasi Palamutan bisa dimulai dari sekolah. Segala potensi yang ada di sekolah, sejak jenjang dasar sampai menengah, bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan Lamut. Beberapa hal berikut bisa dilakukan jika mau: Pertama, mengadakan pertunjukkan Lamut keliling ke sekolah-sekolah; Kedua, mengadakan pelatihan khusus Balamut dengan instruktur Palamutan yang sudah ada; Ketiga, membentuk kelompok-kelompok Lamut di sekolah-sekolah untuk kemudian diselenggarakan Lomba Balamut Antarpelajar; dan Keempat, menjadikan Lamut sebagai salah satu materi Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) di setiap tingkatan kelas dan jenjang sekolah.

Seperti juga seni tradisional lainnya, maka tidak ada hal yang mustahil untuk mengajarkan Lamut agar bisa dikuasai oleh generasi muda sekarang. Namun, sebagai sebuah proses, pendidikan memang memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat memperlihatkan hasilnya. Apalagi untuk menumbuhkan generasi baru Palamutan, tentu memerlukan kesabaran dan ketekunan. Keinginan dan usaha dari siapa pun untuk menjemput Lamut agar tak berlumut harus kita dukung. Yang penting hal ini jangan sekadar habis jadi wacana, tapi harus menjadi aksi. Yakinlah, Lamut tak akan punah!

 

Banjarmasin, 22 Nopember 2007

Tinggalkan komentar