Aku Guru, Kalian Siswa, Mereka Sastrawan

Aku Guru, Kalian Siswa,

Mereka Sastrawan

(Surat Terbuka buat Lilies M.S.)

Oleh : Zulfaisal Putera*

Kegiatan Satrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) 2004 yang digelar majalah sastra Horison Jakarta untuk Kalimantan Selatan berakhir sudah, Lis! Perhelatan sastra itu usai. Pesta antara sastrawan dengan siswa itu telah selesai. Aruh yang benar-benar mengguruh itu pun telah luruh. Seiring perginya mereka kembali ke peraduan kreativitas. Ada kenikmatan yang terasa benar ketika mereka menemui kita dengan segala keindahannya. Ada rasa yang harus terus dipelihara ketika mereka pergi dan meninggalkan manis, pedas, asam, dan asin di lidah kita. Ada siulan yang mesti terus dijaga kemerduannya di telinga kita.

Ya, acara SBSB 2004 untuk banua kita baru saja berlangsung. Sejak dibuka di SMA 2 Banjarmasin tanggal 23 Maret, tak terasa sudah dituntaskan dengan gelaran di SMA 1 Martapura tanggal 8 April 2004 beberapa waktu yang lalu. Acara yang dikemas khusus untuk siswa-siswa SMA dan sederajat itu memang betul-betul memberi suasana yang lain dari yang lain. Suasana apresiasi sastra yang sangat kental yang disajikan dengan kemasan menghibur sekaligus mendidik. Acara tersebut bahkan begitu menakjubkan bagi siswa-siswa kita.

Betapa tidak menakjubkan, kalau sebelumnya siswa-siswa kita, bahkan diri kita sendiri sebagai guru mereka, hanya pernah membaca karya-karya para sastrawan itu melalui helai-helai buku dan media massa, saat itu dapat bertemu dan menatap langsung wajah-wajahnya. Betapa sangat menakjubkan, kalau sebelumnya siswa-siswa kita hanya mampu bertanya-jawab dan berdiskusi tentang karya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses kreatifnya dengan kita – guru mereka – yang sebenarnya tidak begitu banyak tahu, saat itu boleh bertanya dan langsung mendapat jawaban dari para sastrawan.

Lis, kau mungkin menyaksikan sendiri bagaimana gembira siswa-siswa kita ketika acara SBSB itu digelar di kotamu, Tanjung. Bagaimana tatapan mata siswa-siswa itu memandang sosok sastrawan hadir langsung di depan mereka tanpa tersekat oleh apa pun. Bagaimana renyahnya senyum siswa-siswa kita saat melihat gaya dan celoteh para sastrawan yang lepas tanpa beban. Bagaimana gerak ekspresi siswa-siswa kita menggiring ekspresi para sastrawan yang menggelar kreativitasnya di depan mereka. Dan bagaimana kegembiraan orang-orang yang hadir di ruang itu – termasuk diri kita – melihat semuanya.

Aku, bolehlah merasa beruntung, karena telah menjadi saksi dari kota ke kota, seluruh kegembiraan yang sedang menghinggapi siswa-siswa kita di sekolah. Atas ajakan majalah sastra Horison, aku berkesempatan mendampingi kegiatan SBSB selama di Kalimantan Selatan. Banjarmasin, Tanjung, Barabai, Rantau, dan Martapura, kecuali Kandangan, sempat aku ikuti. Sembilan dari sepuluh sekolah yang menjadi tuan rumah sempat aku saksikan. Sebanyak 21 orang sastrawan dan artis sempat aku iringi. Dan yang lebih mengasyikkan, hampir 3.500 lebih wajah-wajah cerah siswa-siswa kita sempat aku nikmati.

SBSB betul-betul jadi bintang timur yang telah menyinari kalbu siswa-siswa kita. Mereka jadi sangat mengerti bagaimana puisi sebenarnya, bagaimana cerpen dan novel sebenarnya, bagaimana naskah drama sebenarnya, bagaimana esai sebenarnya, yang sebelumnya hanya dikenal seadanya oleh mereka di kelas-kelas melalui kita, gurunya yang punya pengetahuan seadanya juga.

Siswa-siswa kita juga jadi lebih mengerti bagaimana menulis sebuah puisi, menulis cerpen dan novel, menulis naskah drama, atau menulis esai. Yang lebih fantastis, siswa-siswa kita melihat dan merasakan sendiri bagai nikmat pembacaan puisi, bagaimana pembacaan cerpen dan novel, bagaimana pembacaan naskah drama, atau bagaimana pembacaan esai, yang sebelumnya hanya mereka bayangkan saja, atau mungkin pernah melihat tapi tidak merasakan betul nikmatnya,

Lis, bersama siswa-siswa, kau sendiri mungkin sudah melihat dan merasakan nikmatnya pembacaan puisi pada semangat Taufik Ismail waktu mengajarkan “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang”, aksi Emha Ainun Najib ketika membaca “Kudekap Kusayang-sayang”, tampilan Zawawi Imron saat ber”Zikir”, gaya Hamid Zabbar melagukan “Indonesiaku” yang berliku-liku, gagahnya Agus R. Sarjono mengungkap “Sajak (ke)Palsu”annya, romantisnya Moh. Wan Anwar menggulir “Tangisan Cinta”nya, atau kocaknya Imam Saleh mengusung garangnya “Jante Arkidam” dan “Sajak Anak Muda Serba Sebelah”.

Bersama siswa-siswa, kau juga pasti sudah melahap dan merasakan lezatnya pembacaan cerpen dan nukilan novel pada aksi Joni Ariadinata yang ternyata punya lafaz suara yang indah saat berazan (jangan-jangan Joni sering jadi kaum di surau), lembutnya Nenden Lilis Aisyah mengurai kehidupannya, dan luar biasanya gaya Putu Wijaya menelanjangi bagian sensitif wanita yang paling ditabukan dari telinga siswa-siswa kita (salam dan sukses untuk siswa-siswa SMA / MA se-Kabupaten Banjar yang beruntung menyaksikan penampilan Putu Wijaya di Pendopo Bupati Banjar!).

Aku berani pastikan, kau dan siswa-siswa juga sudah hilang dahaganya setelah mereguk mesranya aksi pasangan Nano dan Ratna Riantiarno ketika membaca surat dari Hayati kepada Zainuddin dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” Hamka atau celoteh lucu “Sampek Engtay”, atau kebersahajaan Hamdy Salad saat mengungkap cerita “Perempuan dalam Kereta”. Apalagi ketika semua mata siswa dan kita terpana (bahkan sempat sedikit berair) menyaksikan betapa seorang Mutiara Sani mampu menghidupkan sebuah esai (?) tentang situasi 12 jam saat-saat akhir hayatnya Asrul Sani – sang suami tercinta.

Kita tidak bisa menampikkan kenyataan ini. Siswa-siswa kita telah mendapatkan banyak hal dalam SBSB. Bahkan, kau tentu melihat bagaimana siswa-siswa kita menunjukkan kecerdasannya dalam mengajukan pertanyaan kepada para sastrawan. Kualitas pertanyaan siswa-siswa kita telah mendapat pujian dari Taufik Ismail sendiri sebagai pertanyaan yang berbobot, karena tidak sekadar berisi keluhan-keluhan atas ketidakmampuan diri sendiri – seperti yang sering disuarakan oleh segelintir orang selama ini. Yang luar biasa, besarnya animo siswa-siswa kita untuk bertanya dalam setiap sesi tanya-jawab di setiap tempat yang kalau tidak dibatasi bisa melebihi 30 orang.

Cerdasnya pertanyaan siswa-siswa kita kepada para sastrawan saat SBSB sempat dicurigai oleh satu dua orang sebagai pertanyaan titipan guru. Ah, Lis, terlalu jujur sangka itu diumbar. Satu dua orang itu lupa (atau mungkin tidak pernah tahu) kalau siswa-siswa kita sudah lebih jauh dan luas dalam mengakses informasi tentang apa pun dan siapa pun. Televisi, majalah, internet, dan buku-buku di toko dan di perpustakaan. Guru sekarang sekadar memberi pengantar dan contoh (dan bukan mengajarkan hapalan lagi, seperti dituduhkan seorang sastrawan senior di daerah ini dalam wawancara di sebuah tabloid kota Banjarmasin. PS: sekali-sekali kunjungi sekolah dan masuk ke kelas, Om!). Semua informasi itu jadi bahan pelajaran, perbandingan, dan kajian dalam otak siswa-siswa kita. Apalagi di perpustakan sekolah, 3 tahun terakhir ini, mereka dengan sangat mudah membaca majalah sastra Horison edisi terbaru ( terimakasih kepada Yayasan Indonesia, Ford Foundation, dan Diknas yang telah mengirim Horison setiap bulan ke sekolah-sekolah kami!).

Bahkan, satu dua orang itu juga perlu tahu, siswa-siswa yang diizinkan dan diundang untuk hadir di acara SBSB dari setiap sekolah di setiap daerah itu bukanlah siswa-siswa sembarangan. Selain siswa-siswa dari jurusan bahasa, sebagai besarnya adalah siswa-siswa nonbahasa. Untuk mendapat ‘tiket masuk’, siswa-siswa tersebut diwajibkan membuat sebuah karya sastra, apakah puisi, cerpen, atau naskah drama. Syarat itu betul-betul mereka sanggupi, sehingga bersamaan berlangsungnya SBSB, telah terkumpul ribuan karya-karya siswa yang sebagian sedang diseleksi dan sebagian lagi sudah dititipkan ke Horison untuk ditampilkan di Kaki Langit. Ini tentu sebuah embrio yang baik, bukan?

Lis, siswa-siswa kita benar-benar terpuasi batinnya dan terpenuhi otak kanannya. Aku sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya apakah siswa-siswa itu benar-benar tertarik dengan sosok sastrawan seperti tertariknya mereka dengan artis-artis idola mereka semacam Feri, Mawar, atau Kia AFI. Kau mungkin menyaksikan sendiri bagaimana mereka berebut dan berjejal-jejal untuk mendapat tanda tangan para sastrawan di setiap akhir acara. Bahkan, para sastrawan itu dikejar sampai ke hotel dan ke restoran tempat mereka mengisi perut. Fantastis! Aku menyaksikan itu bukan hanya di Banjarmasin, tapi juga di kota-kota lain di hulu sungai.

Siswa-siswa kita ternyata juga memanfaatkan teknologi untuk menjawab kehausannya akan sastra dan sastrawannya. Aku melihat bagaimana Joni Ariadinata, Mohammad Wan Anwar, Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, dan Hamid Zabbar dengan senyum menjawab banyak SMS siswa-siswa dari berbagai tempat. Dari yang sekadar tanya keadaan, data pribadi, sampai soal karya-karya dan proses kreatifnya. Lis, aku lihat kau juga ikut mencatat nomor-nomor HP mereka. Ikut SMS juga, ya? Di HP para sastrawan, SMS jadi merupakan singkatan dari Sastra Message Service.

Lis, ada hal lain yang perlu juga kusampaikan dalam surat ini. Ada situasi paradoksal yang kutemukan saat dan pascaberlangsungnya SBSB di banua kita ini. Ketika siswa-siswa kita bergembira dengan pesta sastranya bersama sastrawannya, ada sedikit suasana lain di luar itu. Yaitu suara-suara sumbang dari (sekali lagi) satu dua orang teman (yang katanya juga sastrawan) tentang SBSB. Ada yang bilang mereka (mengatasnamakan sastrawan daerah) tidak dilibatkan, ada juga yang mengganggap SBSB itu kenduri di rumah orang lain (yang dapat ditafsirkan ‘harus lapor dulu?’), bahkan ada yang terang-terangan mengaku kecewa dengan SBSB (?).

Sempat aku khawatir kalau situasi paradoks yang muncul di koran itu terbaca oleh siswa-siswa kita. Aku takut kegembiraan mereka jadi terganggu. Aku takut suasana bulan madu siswa-siswa kita dengan para sastrawan jadi terusik. Dan siswa-siswa itu memang akhirnya membaca juga suara-suara sumbang itu dari koran yang bisa mereka dapatkan di mana-mana. Yang muncul dari mulut siswa-siswa kita adalah sesalan pertanyaan: Kok, sesama sastrawan begitu? Kok, (segelintir) sastrawan di banua ini berkomentar seperti itu? Kok, menghadapi tamu begitu? Kok, skeptis ketika rumah tetangga dikunjungi orang dan tidak memberi tahu kepada kita lalu bilang kecewa? Kok, dan sejumlah kokok kokok lainnya dari siswa-siswa kita, Lis!

Aku tidak tahu persis bagaimana menjawab pertanyaan siswa-siswa kita itu. Secara sederhana aku mencoba menjelaskan dengan diplomatis: Yang ngomong sumbang itu, yang kecewa itu, bukan sastrawannya, Nak, tapi oknum sastrawan. Kalau sastrawannya pasti tidak sevulgar itu bicaranya. Mereka punya koleksi bahasa lambang yang sangat banyak dan halus untuk menyatakan sesuatu. Lagi pula mereka tahu, bahwa SBSB itu dirancang buat kamu, Nak. Bukan buat mereka. Jadi, tuan rumahnya SBSB itu kamu, siswa-siswaku! Bukan sastrawan di banua! Kamulah lebih dahulu yang mereka kunjungi dan sapa, Kalau sudah puas berbicara denganmu, setelah itu, terserah tamu itu mau kemana. Toh, para sastrawan tamu juga menemui teman-temannya sastrawan di banua kita. Cantikkan?

Siswa-siswa kita tersenyum kembali, Lis! Aku melihat di raut muka mereka terpancar harapan lebih jauh lagi. Mereka sadar tak ada kesenangan yang sempurna. Sudah cukup lama siswa-siswa kita menanti untuk dikunjungi oleh para sastrawan, baik dikunjungi sastrawan di banua ini, apalagi sastrawan nasional yang berdomosili di luar banua kita. Selama ini, satrawan nasional sudah sering bertemu dengan sesama sastrawan di daerah. Bertemunya di tempat sastrawan berkumpul, seperti taman budaya atau sanggar-sanggar, bukan di sekolah Dan siswa-siswa kita diundang sebagai penonton saja, bukan subjek. Masa, sih, saat siswa-siswa kita sedang dimanja-manja karena dikunjungi oleh para sastrawan nasional mesti diribut-ributkan. Bukankah, dari siswa-siswa ini nanti (semoga) akan tumbuh sastrawan-sastrawan besar sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang?

Lis, aku kagum dengan kebapakan Pak Taufik Ismail. Ketika selesai membaca tulisan tentang kekecewaan teman-teman sastrawan di banua ini (dalam perjalanan dari bandara ke Banjarmasin sehari sebelum kegiatan SBSB di Martapura) beliau hanya tersenyum. Senyum seorang sastrawan besar yang sudah banting tulang dan peras keringat bersama sastrawan besar lainnya (yang hampir semuanya telah tiada) berpuluh tahun mengusung kejayaan sastra Indonesia, tapi tetap rendah hati. Mengunjungi siswa-siswa kita, membimbing, memberi semangat, dan menjadi contoh, di samping terus berkarya, tanpa harus mengeluh dan merengek-rengek, apalagi kecewa! Aku sendiri sadar, aku hanyalah guru, kalian siswa-siswaku, dan mereka sastrawan. Kita punya tugas masing-masing. Kita saling membutuhkan. Sebab, tujuan kita sama!

 

Pergi ke dunia luas, anakku sayang

pergi ke dunia bebas!

Selama angin masih angin buritan

dan matahari pagi menyinari daun-daunan

dalam rimba dan padang hijau

 

Pergi ke laut lepas, anakku sayang

pergi ke alam bebas!

Selama hari belum petang,

dan warna senja belum ke merah-merahan

menutup pintu waktu lampau

 

Jika bayang telah pudar

dan elang laut pulang ke sarang

angin bertiup ke benua

 

tiang-tiang akan kering sendiri

dan nakhoda sudah tahu pedoman

boleh engkau datang padaku

 

Kembali pulang, anakku sayang

kembali ke balik malam!

Jika kapalmu telah rapat ke tepi

Kita akan bercerita

“Tentang cinta dari hidupmu pagi hari”

 

(Surat dari Ibu : Asrul Sani)

 

Teriring salam buat: Bu Ati Ismail (Jakarta); Pak Wahid (SMA2), Bu Yuliana (SMA Kartika), Bu Umi dan Pak Basuki (MAN2), Bu Purba (SMK4), dan Bu Ilda (MAN1) semuanya di Banjarmasin; Bu Saidah (SMA1 Tanjung), Pak Moedris (SMA1 Barabai), Pak Suharmono (SMA3 Kandangan), Bu Munikah (SMA1 Rantau), Bu Arbainah (SMA1 Martapura); Pak Setia Budhi yang sedang berada di Ohio, Mas Sandy Firly yang akan pergi ke Beijing; Bung ASA, Bung Rifani Djamhari, dan Om Maman S. Tawie di mana saja berada.

 

*Penulis adalah guru SMA 2 Banjarmasin

Tinggalkan komentar